Penulis: Firman Syahyudin
Keberadaan sebuah teori bukanlah
semata-mata karena kegemaran pribadi seseorang, tetapi tentu saja karena
ada masalah-masalah yang mendorong orang untuk berteori. Dengan kata
lain memang ada alasan nyata yang menuntun orang untuk menghasilkan
karya-karya teoritis, dan tentunya hasilnya sering membantu dalam
perjalanannya untuk menyelesaikan masalah.
Katakanlah, kita tidak bisa
bergerak lansung dari suatu studi tentang sikap-sikap para pekerja
langsung menjadi suatu teori, karena setiap teori yang bernilai harus
bertautan dengan lebih banyak hal lagi daripada sikap-sikap para
pekerja. Kita harus membawa serta keduanya secara bersama-sama:
studi-studi kita tentang dunia nyata, kita gunakan sebagai bahan mentah
untuk berteori dan menggunakan teori yang telah kita miliki untuk
menolong kita memahami hasil-hasil dari berbagai studi mengenai dunia
nyata dengan segambreng intrik dan ambigunya. Setiap individu pun
seringkali kita secara tidak sadar berfikir secara teoritis. Apa yang
tidak biasa bagi kita adalah berfikir secara teoritis dalam suatu cara sistematis,
dan teori itu baru merupakan suatu bantuan kalau kita dapat mempelajari
dengan sadar dan itu hanya mungkin kalau kita dapat menggunakannya
secara langsung.
Apa yang menjadikan kita terbiasa berfikir dalam keadaan tidak sadar (tidak sistematis)? Jawabannya karena MASALAH
(problem atau kejadian) itu sendiri. Kebanyakan kita dalam hal tertentu
dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang berada di luar kontrol kita dan
tidak serta-merta jelas. Beberapa di antaranya terjadi secara tidak
terduga-duga atau tiba-tiba, sebagian lainnya terjadi secara
perlahan-lahan dalam cara yang kurang disadari. Misalnya, dalam tingkat
tertentu, yang bersifat pribadi saya bisa jatuh cinta pada waktu yang
tidak menyenangkan dan tidak diharapkan, atau menemukan diri saya dalam
genggaman emosi yang ganas lainnya, yang tidak saya ketahui datang dari
mana, tetapi nampaknya begitu menguasai kehidupan saya, atau saya
menemukan diri saya sendiri terperangkap dalam suatu keadaan yang
disertai manifestasi baik fisik maupun psikis, seperti ketika dokter
memvonis HIV bagi penderitanya.
Fungsi teori mestinya berkaitan dengan
penafsiran terhadap fakta-fakta apa saja yang dapat ditemukan dan
disetujui. Tetapi hal ini akan menimbulkan perangkap dalam teoritis.
Artinya teori juga mengandung perangkap. Seseorang yang mempunyai banyak
waktu dalam pengumpulan data-data akan cenderung terperangkap dalam apa
yang diistilahkan sebagai perangkap teka teki silang. Artinya perangkap
ini terletak pada teori itu sendiri, sedemikian panjang waktu yang
digunakan peneliti dalam pengumpulan data akan menyerap mereka dalam
perdebatan-perdebatan teknis yang berkaitan dengan hubungan metodologi
dan statistik,dan pada akhirnya aplikasi untuk konsepnya terbengkalai.
Perangkap teori kedua apa yang disebut sebagai perangkap kepuasan hasil. Dalam mensistematiskan ide-ide, akan memunculkan problem second-order,
tidak secara langsung berhubungan dengan penjelasan mengenai sesuatu.
Artinya begitu besar kenikmatan yang dapat diperoleh dari usaha
memecahkan masalah (menjelaskan dalam satu sisi), membuat kita lupa
terhadapn kompleksitasnya dunia sosial dan dampaknya pada kesalahan
berteori secara tidak menyeluruh terhadap problem tersebut sehingga
teori yang dihasilkan nampak tidak relevan. Perangkap ketiga
dinamakan perangkap deskripsi, artinya suatu penjelasan mewartakan
(memberitahukan) kepada kita sesuatu yang tidak kita tahu dan yang tidak
bisa ditemukan hanya dengan melihat.
Artinya sebuah teori relevan ketika
menyangkut aspek dari kepuasan antara ide secara konseptual dan hasil
secara factual. Konsep pekerja dan pemikir ataupun sebaliknya pemikir
dan pekerja menjadi satu kesatuan dalam tujuan, yakni kepuasan antara
keduanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar