sapa dan salam

Assalamuallaikum, Selamat bergabung di Xpassion.:D

info terupdate

Hi Xpassioners, selamat berkarya di BUKU ke 2 Xpassion, kumpulkan tulisanmu segera, rebranding your self and improve your skill
  • -Lutfi Zein-.
  • Find Your Passion
  • Now
  • No Delay,No Excuse,No But.
  • Reading Books Makes you Better.

Kamis, 31 Oktober 2013

Cinta 10 November

Penulis: Agung Tri Yulianto

8 november 1945. Pagi itu Tukiran duduk sendiri diatas kursi di ruang tamu rumahnya yang sederhana, cahaya matahari menerobos masuk dari lubang-lubang dinding rumah yang terbuat dari gedek anyaman bambu. Sambil menunggu istrinya yang memasak gaplek untuk sarapan Tukiran merenung kata-kata apa yang akan dia sampaikan kepada istrinya, sorot mata tukiran yang tajam tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Dua mangkuk gaplek dan ikan asin yang dibumbui sambal yang sudah dimasak oleh Jamilah istri tukiran sudah tersedia meja makan. Jamilah memanggil suaminya “Kang Mas ayo sarapan, kamu harus makan yang banyak karena perjalanan ke Surabaya itu Jauh” . “Iya Dik..” Tukiran menjawab ajakan istrinya.

Dengan lahap Tukiran memakan masakan istrinya yang baginya itu adalah masakan terenak sedunia, dalam hati tukiran memanjatkan puji syukur kepada Allah atas segala nikmat pada pagi itu. Selesai sarapan tukiran mengajak istrinya duduk di ranjang bambu didepan rumahnya, sepertinya tukiran akan mengungkapkan kegundahannya. “Dik Mas yakin kamu pasti bisa jadi ibu yang baik bagi anakku yang berada dikandunganmu itu” Tukiran membuka obrolan. “Ah kang mas ini kok ngomong gitu kan masih berumur 2 bulan kehamilanku ini” ungkap jamilah sambil tersenyum. “kamu rela Dik kang Mas pergi ke Surabaya?” Tukiran memandang tajam ke mata jamilah. “Jamilah ngerti Mas, tujuan Mas pergi ke Surabaya itu mulia. Tapi kalau jamilah boleh minta kang mas tetap disini menemaniku” tak terasa jamilah meneteskan air mata. “Itu juga sudah aku pikirkan dik.. bagaimana jika aku tinggal saja disini dan tidak jadi pergi ke surabaya, menjadi petani dan melanjutkan hidup bersamamu dan anak kita” ungkap tukiran. Jamilah berkata “ Ya sudah mas tidak usah pergi ke Surabaya”. Tukiran terdiam sejenak lalu dia berkata “ Tidak bisa istriku yang cantik, setelah ku pikir-pikir lagi apa gunanya aku tinggal disini jika kita tidak bisa punya tanah untuk bertani dan tidak bisa punya kesempatan untuk mengajar anak-anak kita agar jadi orang yang pintar seperti Bung Karno atau berani seperti Jendral Soedirman. Maka dari itu aku semakin yakin tujuanku ke surabaya itu sudah benar, aku pergi demi anak kita berdua demi kamu juga istriku. Demi seluruh anak-anak negeri ini agar mereka bisa mempunyai kebebasan untuk menjadi yang mereka inginkan. Bisa bertani, menjadi guru, atau menjadi pedagang tanpa dikejar-kejar dan oleh Kompeni untuk dijadikan budak mereka”. Kali ini jamilah tidak bisa menahan air matanya dan dengan suara yang bergetar dia berkata “Iya mas.. aku mengerti tujuanmu sangat mulia semoga kelak anak cucu kita memiliki nasib yang lebih baik dari kita tapi aku dengar pasukan Belanda dan Inggris sudah menduduki kota Surabaya kang mas dan mereka marah karena salah satu Jendral mereka tewas”. Lalu Tukiran memeluk istri tercintanya sambil berkata “Iya dik.. justru karena itu aku harus segera bergabung dengan pasukanku disana” Tukiran mencoba menjelaskan meskipun dalam hatinya dia tidak tega meninggalkan istrinya dikampung bersama ibunya. Jamilah mulai menangis seperti ada batu yang membuat dadanya terasa sesak dan ia pun berkata: “Kang mas aku mohon kang Mas harus pulang setelah perang berakhir”. Tukiran menjawab: “ Iya aku akan pulang, ya sudah kalau begitu aku harus segera pergi untuk bergabung dengan yang lain” Setelah memeluk istrinya tukiran pergi kesamping rumah menghampiri ibunya yang sedang sibuk menganyam tikar lalu dia bersimpuh memohon doa restu sekaligus pamit. Ibunda Tukiran hanya hanya bisa meneteskan air mata dan memeluk anak tercintanya, dia tahu anaknya akan pergi berjuang dan mungkin tidak akan pulang untuk selamanya akan tetapi dalam hati sang ibu yakin bahwa anaknya berjuang dijalan yang benar dan akan dilindungi Allah SWT. “Ngger.. ibu hanya bisa membekalimu do’a semoga engkau selamat dan berhasil dalam perjuanganmu” kata ibu Tukiran. “iya ibu.. Tukiran mohon pamit dan mohon maaf karena merepotkan ibu karena harus menjaga Jamilah” Tukiran menjawab.  Lalu Tukiran mengambil bekal yang telah disiapkan, sambil membelai wajah istrinya ia berkata “aku berangkat dik..jaga diri baik-baik dan titip jagain ibu ya..”. Jamilah tersimpuh lemas di ranjang bambu itu disamping mertuanya, dua perempuan yang sangat mencintai Tukiran it uterus menangis seolah air mata mereka  tidak bisa berhenti melepas kepergian Tukiran.

9 November 1945. Tukiran sudah berkumpul dengan pasukannya yang terdiri dari 20 orang, dengan seragam apa adanya mereka tetap terlihat gagah ketika mereka berbaris. “Istirahat ditempat grak..!” tukiran berteriak kepada pasukannya lalu ia mengelilingi barisan pasukannya itu dan ia berkata “Senjata kita tidak selengkap mereka dan bahkan sebagian dari kita tidak memakai sepatu, apakah kita bisa menang?”. Salah seorang prajurit menjawab “pasti bisa komandan”, “Bagus, kita memang harus yakin bisa menang” jawab tukiran. “keyakinan kita sangat penting, meskipun senjata mereka lengkap tapi mereka salah memasuki tanah kita. Surabaya adalah tanah kita dan tidak ada yang bisa merebut tanah kita sekali merdeka tetap merdeka, belanda tidak boleh sedikit pun mengambil hak dan kebebasan kita. Apa kalian takut?”. Dengan serentak para prajurit itu menjawab “tidak komandan”, tekad mereka sudah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan.

10 November 1945. Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat TKR juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.

Tukiran bersama pasukan TKR yang dipimpinnya bergabung dengan pasukan untuk melakukan perlawanan, dijembatan merah telah terjadi baku tembak yang sangat sengit antar pasukan TKR melawan penjajah. Tukiran dan pasukannya mencoba menahan pasukan musuh agar tidak menyebrang jembatan itu, ketika itu ada pesawat yang terbang dan menembaki pasukan TKR. Tukiran dan pasukannya lari mencari tempat yang aman, Tukiran tertembak dan terjatuh. Tukiran tergeletak tak berdaya dipinggir jalan tubuhnya seperti tidak lagi mempunyai tenaga untuk bergerak, tiba-tiba Tukiran terbayang wajah Jamilah dan ibunya. Dalam hati Tukiran berkata: “Istriku.. aku meninggalkanmu bukan karena aku tidak sayang kamu, Ibu maafkan aku karena aku sering merepotkanmu. Aku harap perjuanganku ini adalah bentuk cintaku pada kalian bertiga, juga kepada seluruh anak-anak penerus bangsa ini” lalu Tukiran tidak sadarkan diri.

5 Desember 1945. Jamilah sedang duduk termenung didepan rumahnya yang sederhana, matanya memandang jauh kedepan ada rindu yang sangat dalam ia rasakan. Dari kejauhan Nampak seorang lelaki berjalan dengan langkah kakinya yang pincang menuju rumahnya, Jamilah mencoba mengenali wajah pria itu dan Jamilah sangat terkejut ketika tahu bahwa lelaki itu adalah Tukiran. Mereka berlari saling mendekat seakan-akan takut terpisah lagi. TAMAT.
23 Oktober 2013. Tulisan ini terinspirasi perjuangan para Pahlawan, karena perjuangan mereka dan cinta mereka terhadapa tanah air ini kita bisa merdeka dan bebas untuk sekolah, bekerja, dan menjadi apapun yang kita inginkan. Merdeka..!!!




 Bung Tomo di Surabaya, salah satu pemimpin revolusioner Indonesia yang paling dihormati. Foto terkenal ini bagi banyak orang yang terlibat dalam Revolusi Nasional Indonesia mewakili jiwa perjuangan revolusi utama Indonesia” Sumber Wikipedia bahasa Indonesia.

1 komentar:

  1. sejarah itu adalah medium pembebasan bukan alat penindasan (Asvi Warman Adam). sadar ataupun tidak dinegara ini, sejarah hanya sebagai obyek legitimasi penguasa, bukann sebagai konteks sejarah sebagai sebuah keilmuan.

    BalasHapus