Penulis: inu
basidjanardana
Bob Marley, nama
ini tidaklah asing di telinga, apalagi untuk para penggemar musik reggae. Dia bukan hanya terkenal sebagai
seorang ‘cool’ berambut gimbal yang hobi menghisap ganja tapi
juga sebagai ‘corong’ politik untuk meruntuhkan kesewenang-wenangan
pemerintahan kulit putih terhadap kulit hitam di homelandnya, Jamaika, pada saat itu.
‘Suara-suara’
kemanusiaan itu dia wujudkan dalam bentuk lagu dan dinyanyikan bersama bandnya,
The Teenagers ( belakangan dirubah
namanya menjadi The Wailing Rudeboys,
kemudian dirubah lagi menjadi The Wailing
Wailers, dan terakhir The Wailers.
Band ini hasil bentukannya dengan Peter Mcintosh, Neville Bunny Livingstone,
Junior Braithwaite, Beverly Kelso, dan Cherry Smith. Setelah beberapa kali mengalami pergantian personel, secara
bertahap akhirnya mereka berhasil mendapat respon dari usica Inggris dan Amerika dengan albumnya yang
berjudul Catch A Fire, meskipun
lagu-lagu dari album itu tidak ada yang berhasil menduduki peringkat di tangga
lagu Inggris.
Tur
untuk mempromosikan album Catch A Fire pun digelar. Personalitas Bob Marley
yang lebih menonjol dari yang lain memberi nilai jual tersendiri. The
Wailers menjadi begitu identik dengan nama Bob Marley selama tur panjang
tersebut berlangsung. Dari sinilah nama Bob Marley secara khusus dikenal
sebagai ‘motor’ The Wailers. Navile Garrick, seorang graphics designer, kemudian menampilkan close up wajah kharismatik itu di sampul
album The Wailers berikutnya, Natty
Dread, yang dirilis pada bulan Januari 1973. Di album inilah untuk pertama
kalinya nama Bob Marley & The Wailers
dipakai secara terang-terangan di hadapan usica dan secara tidak langsung Bob
Marley pun ‘resmi’ menjadi ‘maskot’ dari grup musik yang didirikannya pada
tahun 1962 itu.
Begitulah,
fenomena ‘penyimbolan’ ini terjadi dengan begitu cepat tanpa disadari kapan
datangnya. Pada kenyataanya hal itu tidak hanya terjadi pada The Wailers saja. Ada The Beatles dengan John Lennonnya, The Doors dengan Jim Morrisonnya, Nirvana dengan Kurt Cobain-nya, sampai
yang paling aneh, band punk legendaris,
Sex Pistols, malah menjadikan Sid Vicious (yang notabene tidak bisa memainkan alat musik) sebagai point of
interest band mereka.
Terbentuknya
Sebuah Simbol:
Kata
frontman ditinjau dari makna
denotasinya ( first order significant
) yaitu “orang yang ada di depan ( dalam hal ini vokalis dari band )”.
Sedangkan konotasinya ( second order
significant ) bila dihubungkan dengan suatu konsep atau tema usical yang
lebih luas dimaknai sebagai “orang yang berpengaruh di dalam band ( leader )”.
Seorang
leader tidak harus dari ‘kalangan’
vokalis saja, drummer pun, walaupun
dia tidak terlihat secara langsung oleh mata penonton ( karena tidak berada di
depan ), bisa disebut seperti itu
asal dia memiliki pengaruh di bandnya. Pengaruh-pengaruh ini muncul dari sisi usical
sang personal, kemampuan dia dalam memainkan musik dan atau cara dia
berpenampilan.
Jean
Baudrillard menjelaskan bagaimana tanda-tanda di dalam wujud hyper
sign – yang dikonstruksi sebagai
komoditi di dalam wacana kapitalisme – menuntut adanya pengemasan, pesona ( fetishism ), kejutan ( surprise ), provokasi, dan daya tarik ( eye catching ) sebagai logika komoditi
itu sendiri.
Dari sinilah
‘proses simbolisasi’ terbentuk. Seorang frontman
tidak hanya ‘bermain’ untuk mewakili dirinya sendiri tapi juga mewakili
beberapa orang yang ada dibelakangnya (para personel band tersebut atau bahkan
musik yang dia mainkan). Akhirnya dengan
disadari atau tanpa disadari sang frontman
pun berubah menjadi sebuah simbol yang dipakai untuk menarik massa.
Kesepakatan tidak
tertulis ini tidak dapat digantikan dengan objek lain tanpa kehilangan motivasi
kesatuan antara penanda ( signifier )
dan petanda ( signified ) nya.
Bayangkan jika suatu saat ( misalnya ) Nirvana
akan mengeluarkan album The Memories of Nirvana, tentu wajah gahar Kurt Cobain lebih pas dipasang
secara close up di sampul albumnya
karena masyarakat secara tidak sadar telah membuat kesepakatan ( convention ) ‘imajiner’ bahwa Kurt
Cobain mewakili Nirvana. Akan berbeda bila produser dari album tersebut memasang
wajah sang drummer, Dave Grohl.
Penguatan – penguatan
tentang ‘who is the leader’ dalam
band akhirnya perlu juga dilakukan, mengingat dalam band nantinya usical the others yang ditakutkan memiliki usical
sebesar atau bahkan melebihi ‘ketuanya’. Maia Esthianty kemudian mencantumkan
namanya pada grup duo baru bentukannya, Maia
& Friends. Ini dimaksudkan untuk lebih menegaskan kedudukannya di dalam
grup tersebut. Masyarakat pun dipaksa mengakui bahwa Maia lah ‘otak’ disitu.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Andra dan Andra
& The Backbones-nya.
Lain
lagi dengan Dhani Ahmad, leader dari Dewa 19. Sejak album Laskar Cinta yang menempatkan Once
sebagai vokalisnya, dia kemudian menerapkan usica 2 lead vocal, yang tentu saja dia menjadi salah satu vokalisnya.
Dengan cara itu secara usical dia seolah berkata, “ Hey, lihat aku!! Aku masih bos-nya !!”
Semua (
lagi-lagi ) Soal Citra:
Perihal
citra masih saja mengusik, bukan saja karena citra ‘bermain’ sebagai imagology dewasa ini, tetapi setidaknya
citra punya ‘otonomi’ sendiri. Lihat
saja bagaimana Sex Pistols memilih Sid Vicious menjadi ‘simbol’ band tersebut.
Semua karena citra yang ada pada Sid mewakili musik yang dimainkannya (terlepas
dari filosofi punk itu sendiri);
bandel, asal-asalan, dan urakan. Sid
memiliki itu semua.
Citra
kemudian menjadi sesuatu yang harus dirancang,
dibangun dan ‘diselenggarakan’ dengan sebaik-baiknya. Hasilnya, realitas yang
baru dibangun lewat citraan-citraan di dalamnya. Hal inilah yang nantinya membangun kontak batin dengan
para ‘konsumen’ maupun ‘calon konsumen’. Kontak batin macam ini kemudian
dianggap penting karena musik itu sendiri seringkali tidak dapat dengan lugas
tampil dan diapresiasi semata karena kualitas musikalnya tanpa pengenalan dan
rasa yang dimiliki oleh usica. Semua dikonstruksi melalui pencitraan visual,
yang meliputi fashion, attitude, dan seksualitas (wajah
cantik/tampan, atau, wajah buruk yang “cool” dan berkarakter).
Bagaimana
dengan ranah audio, dimana musisi tampil lebih membumi dengan pecitraan profil
yang lebih “kontekstual” yaitu hasil karya musisi itu sendiri, musik. Tentu
saja, karena radio tak dapat memuat pencitraan visual selain audial. Tapi
nyatanya, pencitraan kualitas usical dapat pula terjadi. Naik atau turunnya
popularitas sebuah lagu dalam tangga lagu (chart) sebuah radio, seberapa
sering lagu itu diputar dengan tambahan profiling yang diberikan penyiar
sebelum ataupun sesudah lagu tersebut diputar juga merupakan wilayah yang penuh
dengan rekayasa pencitraan. Walau radio berusaha bersikap adil dengan semua perusahaan
rekaman plus dagangannya, tetap saja, pencitraan tersebut terjadi ketika profil
personal (yang lagi-lagi banyak didominasi oleh si ‘ketua band’ ) hadir dalam
ruang siar untuk membicarakan album terbaru atau sekedar melakukan “kopi darat”
dengan penggemar.
“Di era kini orang
lebih memilih citra daripada benda. Lebih menyukai salinan daripada asli. Lebih
menggemari penampakan ketimbang keberadaan nyata”, ungkap Feurbeuch, seorang
filsuf Jerman, untuk mempertegas pengaruh citra terhadap realitas. Kemasan tanda
dan mediumya, pada satu titik, lebih menarik perhatian setiap orang ketimbang
pesan atau makna yang disampaikannya, yang menggiring orang pada ekstase tanda
dari medium itu sendiri, sembari melupakan pesan dan maknanya – inilah yang
dikatakan Marshall McLuhan sebagai medium
is the message-. Artinya orang tenggelam di dalam gairah pengemasan tanda
itu sendiri, lewat kecanggihan teknologi simulasi dan teknologi citraan ( imagology ), sehingga tanda tidak lagi
mengacu pada dunia realitas.
Mungkin ungkapan
Umberto Eco tentang tanda bisa dikaitkan dengan kedustaan tanda disini, dimana
mereka digunakan sebagai alat berdusta. Maka, setiap makna (meaning) adalah dusta, setiap pengguna
adalah pendusta dan setiap penandaan (signification)
adalah kedustaan.
Jadi, sudah dan
siapkah anda didustai di dunia sederhana ini?
*Tulisan ini
pernah dimuat di Majalah Mahasiswa Tegalboto Edisi XIII/2008,Musikografi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar