Penulis:
Alfi Fidya Ariyunita
Dilahirkan pada tahun 1990, seorang
anak perempuan yang menjadi anak tunggal di sebuah keluarga sederhana dan
harmonis itu merasa bagai seorang putri raja dan diemaskan oleh orang tua dan
kakek neneknya. Ia merasa hidupnya sungguh sempurna, karena begitu banyak yang
menyayanginya dan menjakannya. Sayangnya, hal itu membuatnya jarang untuk
berdoa kepada Tuhannya. Ia hanya mematuhi kewajiban tanpa meminta kepada
Tuhannya, karena Ia hanya berpikir bahwa, “Ayah dan Ibu akan menurutiku. Kalau
ndak gitu ya ke mbah kung (kakek:bahasa jawa) juga bisa.”
Pada saat itu kebetulan ia berpikir
pada tulisan sebuah buku pembangun diri pertama yang ia baca, “Jangan bersandar
pada orang lain dan apapun kecuali pada Tuhanmu”. Selama ini ia memang telah
bersandar penuh pada keluarganya. Ia belum banyak tau tentang takdir, nasib dan
kehidupan. Karena baru 6 tahun ia bisa mengingat awal mula ia menjalani
kehidupan di dunia dan pada waktu itu ia berusia 12 tahun.
Selama 6 tahun, yang dia ingat hanya
seorang ayah yang berwibawa, menyayanginya dan sedikit membuatnya malu karena
tidak bisa berjalan seperti ayah teman-temannya. Ia juga mengingat Ibu yang
selalu membelanya ketika ia melakukan kesalahan. Serta kakek dan nenek yang
selalu memanjakannya setiap waktu.
Tidak lama setelah ia berpikir apa
yang dimaksud dengan tulisan “Jangan bersandar pada orang lain dan apapun
kecuali pada Tuhanmu”, akhirnya ia mulai diberi jalan untuk menemukan
jawabannya. Ia mendapat pengajar yang paling sempurna di alam semesta ini,
yaitu Tuhan. Ia resmi masuk pada sekolah kehidupan yang langsung dituntun oleh
Tutor Yang Maha Sempurna.
Ketika harus mulai menerima pelajaran
pertama pada bangku sekolahnya, ia harus menerima materi KEIHKLASAN. Ia diuji
dengan diambilnya seorang Ayah dari kehidupannya. Pada usia 13 tahun, yang
hanya bisa ia lakukan dan sadari adalah menangis dan menjadi seorang yatim. Ia
hanya bisa menangisi Ayahnya supaya dapat kembali hidup dan takut menerima
cemohan teman-temannya karena menjadi yatim.
Ia takut kehidupannya tidak akan
seindah sebelumnya. Ia mulai gusar dan tidak bisa tenang menjalani hidupnya. Ia
takut akan Kakek kesayangannya yang akan diambil setelah Ayahnya. BENAR! Belum
genap 40 hari meninggalnya sang Ayah, ia harus kembali menerima pelajaran nomor
dua dari materi KEIKHLASAN. Kakek kesayangannya juga meninggalkannya pada saat
40 hari meninggalnya sang Ayah. Hidup sudah mulai dalam proses pembalikan.
Akhirnya, saya mulai tinggal bertiga
dalam satu rumah dengan Ibu dan Nenek tanpa kehadiran seorang pria yang dapat
melindungi kami. Setelah semuanya terjadi, kehidupan gadis itu belum juga pulih
seperti sebelumnya, malahan ia semakin gusar. Ibu mulai sakit-sakitan. Ibu
harus keluar masuk rumah sakit untuk menjalani operasi, pengobatan dan
pemeriksaan. Dengan kondisi yang demikian, ia tidak tahu harus kemana lagi akan
bersandar. Karena tidak mungkin kepada neneknya yang usianya juga tidak dapat
ditebak.
Menangislah ia untuk pertama kali
kepada Tuhannya. Setiap kali dalam kewajibannya dan ibadahnya ia selalu berdoa
meminta untuk keselamatan, kesehatan dan usia yang barokah untuk seisi
keluarga. Tiap kali ia merawat Ibunya, ia teringat oleh almarhum ayahnya yang
dulu belum sempat ia rawat seperti ibunya ketika sakit. Dan tiba-tiba ia seolah
seperti merasakan apa yang dilakukan ibunya ketika merawat almarhum ayahnya
ketika sakit keras.
Dokter memberikan pesan untuk tidak
melakukan operasi lagi dan keluarga besar menentang keinginan ibunya yang
bersikeras melakukan operasi. Entah apa yang terpikir oleh si Gadis, ia meminta
keluarga besarnya untuk menuruti keinginan sang Ibu dan meminta Bibinya untuk
menyutujui surat pernyataan melakukan operasi untuk sang Ibu.
Rupanya dua pelajaran keikhlasan
sebelumnya membuat si gadis siap untuk ujian kenaikan kelas dari Tuhannya. Si
gadis seolah mendapat keberanian yang luar biasa untuk memilih jawaban yang
dianggapnya benar pada soal ujian dari Tuhannya. Ia, memilih menuruti apapun
keinginan Ibunya dan tidak akan pernah menyesal apapun yang terjadi.
Hari dimana pengumuman kenaikan kelas
di sekolah kehidupan si gadis itu pun tiba. Ia kembali harus menerima kenyataan
bahwa tidak seorangpun di dunia ini yang dapat dijadikan sandaran kecuali pada
Tuhan. Ia kehilangan sang ibu pada usianya yang ke 15 tahun. Namun, ia tak lagi
gusar dan takut kehilangan seseorang yang ia sayangi kembali meskipun tinggal
seorang lagi yang masih ia punya, yaitu Nenek. Ia pun tidak mencurahkan air
mata yang berlebih ketika sang Ibu meninggalkannya untuk selamanya. Ia tidak
takut dengan julukan orang kepadanya yang bertambah menjadi yatim-piyatu. Ia
pun tidak takut untuk hidup sendiri dan merawat seorang nenek dikehidupannya
selanjutnya. Karena ia sudah ikhlas menerima ujiannya dan siap untuk menghadapi
ujian-ujian kenaikan kelas selanjutnya.
Tentunya setiap orang pasti ingin pada
Kelas yang tinggi, Kelas yang dapat lebih dekat dan terus mendekat dengan
Tuhannya. Dan ketika diambil sebuah kesimpulan, maka Ikhlas adalah salah satu
pelajaran untuk dinaikkan Kelas oleh Tuhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar