Penulis: Erik Sofyan Hadi
Suatu sore menjelang Idul Qurban tahun lalu, penulis menyempatkan diri untuk mencari kambing sebagai hewan qurban. Dari berbagai bursa hewan qurban yang penulis datangi, tak satupun hewan qurban yang sesuai dengan keinginan, entah karena hewan qurban yang terlalu kurus atau harga yang tak sesuai. Akhirnya penulis memutuskan untuk mencari sampai di salah satu tempat penjualan hewan qurban yang letaknya agak jauh dari kota.
Sebagian besar hewan yang ada dikandang bursa hewan tersebut sudah ditandai dengan kalung, pertanda hewan tersebut telah terjual namun belum diambil oleh pemiliknya. Sambil melayani calon pembeli lain, si pedagang memberitahu kalau kambing qurban yang tersisa hanya beberapa kambing betina berbadan cukup gemuk. Penulis beranikan diri untuk mulai menawar.
Sebagian besar hewan yang ada dikandang bursa hewan tersebut sudah ditandai dengan kalung, pertanda hewan tersebut telah terjual namun belum diambil oleh pemiliknya. Sambil melayani calon pembeli lain, si pedagang memberitahu kalau kambing qurban yang tersisa hanya beberapa kambing betina berbadan cukup gemuk. Penulis beranikan diri untuk mulai menawar.
“Berapa harga kambing yang ini, Pak?”, tanya penulis seraya menunjuk salah satu kambing yang terlihat paling kurus diantara kambing-kambing lain.
“Yang itu satu juta tiga ratus lima ratus lima puluh ribu, Mas”, ujarnya
“Tidak bisa turun, Pak?”
“Untuk yang itu tidak bisa, Mas. Mungkin kalau harga BBM turun baru bisa dapat seharga itu, Mas “, ucap penjual menguatkan pernyataanya.
“Kambing minum BBM memangnya, Pak?. Sejuta dua ratus ribu kalau boleh saya bayar sekarang, Pak”, sambil berharap penjual menerima penawaran termurah dari penulis.
“Mas, pakan kambing ini saya beli pakai uang, untuk transport rumput dan transport ke lokasi penyembelihan kami pakai bensin”, ujar penjual seraya melempar senyum kearah penulis.
Sesaat kemudian datanglah seorang nenek berpakaian batik yang lusuh dengan corak warna yang telah pudar menghampiri dan menyerahkan bungkusan berisi uang kepada penjual hewan qurban.
“Nenek beli kambingnya satu. Alhamdulillah tahun ini nenek bisa berqurban”, ucap si nenek kepada penjual dengan raut wajah bahagia.
Sejenak penjual tertegun dengan tingkah si nenek menghitung uang yang ada dibungkusan yang nenek tadi berikan. Penjual kemudian berkata kepada nenek itu “Nek, uangnya lebih..di sini sudah terjual yang harga segini, Nek, adanya yang lebih murah”.
“Nenek beli kambing yang paling gemuk kalau begitu, uangnya sudah termasuk ongkos kirim belum?”, ujar si nenek
“Sudah termasuk kok, Nek. Baik, Nek.. Ini kembaliannya. Kambing ini akan diantar kemana, Nek?”, sahut penjual lalu menyerahkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan kepada si nenek.
“Antar saja ke Mesjid di kampong seberang kali, dibelakang Mesjid itu rumah Nenek, kalau bisa sebelum sholat Idul Adha dimulai”, ujar si Nenek.
Kontan hal itu membuat perasaan dan pikiran penulis bercampur aduk, seakan semua berlawanan jika dilihat dari pandangan penulis saat itu. Terlebih lagi saat penulis tahu di lingkungan si Nenek tinggal sangat jarang rumah mewah bahkan sebagian besar penduduknya hanya bermata pencaharian sebagai buruh petani harian, mampu dengan ikhlas memberikan sesuatu yang berharga untuk berqurban. Hal ini tentu sangat berlawanan dengan awal pola piker penulis yang masih menimbang-nimbang bahkan menawar untuk mendapatkan kendaraan di akhirat kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar