Penulis: Inu Basidjanardana
Fatati Nur Diana konon kira-kira artinya adalah “wanita yang
disinari agama serta pemberi jalan cahaya untuk mendekat pada surga”. Dia istriku. Tentu saja cantik,setidaknya dia adalah
orang yang paling cantik diantara kami berdua. Pastinya begitu.
Kami bertemu saat zaman kuliah dulu, yah…
katakanlah sekitar 7 tahun yang lalu. Pada Maret 2010 kami menikah. Tepat disaat
kami merayakan 5 tahun pacaran kami dan jelas bahwa usia pernikahan kami
sekarang ini belumlah genap 2 tahun. Bersamanya, kami berjibaku membangun
mimpi, untuk mengejar apa yang mereka sebut sebagai kebahagiaan. Kedengarannya
memang klasik. Tapi apakah ada kata yang lebih baik dari itu?
Sebagai seorang istri, dia adalah sosok yang
sangat luar biasa. Mau diajak hidup susah, dan sanggup berjuang. Kami punya segudang keinginan, dan memang semuanya
tidaklah mudah untuk dicapai. Tetapi, diam-diam ia sabar. Kalau saya mulai
melamunkan keinginan, kapan ya kita punya inilah itulah, kapan ya kita bisa
inilah itulah, kapan ya kita ke sinilah ke situlah, dan kapan-kapan yang lain,
ia selalu tersenyum, sambil memeluk saya dengan hangat.
Sebagai seorang istri yang sederhana ia tidak
punya banyak keinginan berlebihan. Selera makannya biasa-biasa saja. Kalau kami
sering makan tempe, bukan berarti kami hidup miskin dan sangat berkesusahan.
Itu lebih karena ia punya gaya yang sederhana soal selera makan. Gaya
berdandannya pun biasa biasa saja. Kalau ia tampak menarik bagi kebanyakan
lelaki (bahkan sejak zaman kuliah dulu) lebih karena kecerdasan dan kecantikan
alamiahnya. Semua yang melekat di dirinya indah karena memang natural, seperti
halnya hutan hijau tropis yang tumbuh berkembang karena alam menstimulasinya
dengan sempurna.
Bila datang saat saya harus pergi keluar
kota, ia dengan tabah menunggu sendiri di rumah. Oh ya, ia adalah koki terbaik
saya. Apapun yang dia masak,selalu terasa memanjakan lidah saya. Apapun itu. Sekarang
saya gemuk bukan main ya karena ulahnya. Kalau aktivitas pekerjaan memaksa saya
pulang lebih malam, dengan mata terkantuk-kantuk ia selalu membukakan pintu
dengan sabar. Bila saya harus pagi-pagi sekali beraktivitas, ia selalu sanggup
untuk bangun lebih pagi dan membangunkan saya agar tidak datang terlambat. Bila
memasuki masa paceklik, ia rela mengurangi jatah kosmetik dan hasrat
berbelanjanya. Hmm…tapi untuk yang terakhir ini, kadang ia agak sewot. Itulah
istriku, makhluk yang
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat-sangat-sangat-sangat-sangat-sangat-sangat-sangat-sangat-sangat-sangat-sangat
membahagiakan.
Mungkin bila saya bilang bahwa saya teramat
sangat mencintainya, 2 tahun umur pernikahan kami pasti hanya akan menjadi
pemakluman. Siapa yang terbiasa skeptis akan menjawab, coba saja tunggu sampai
5, 10, 20, 50 tahun pernikahan, apakah akan terus begitu? Tapi saya hanya
mencoba menuliskan apa adanya disini, tentang perasaan yang sekarang terasa.
Semoga apa yang meluap sangking hebatnya dalam cerita saya hari ini, akan
sanggup bertahan sepanjang usia kami berdua.
Saya selalu terharu, bila datang saat saya
terjaga dan tidak bisa tidur, lalu melihat ia terlelap di ranjang kami. Itulah
momentum terbaik bagi saya untuk menghayati kediriannya dan keberadaannya dalam
sekelumit cerita hidup saya ini. Tentulah saya menanggung kengerian yang
teramat sangat. Bila saja waktu yang begitu rapuh ini suatu saat akan berbicara
lain. Yah, seperti kita tahu bahwa kehidupan ini hanyalah sementara. Diluar itu
semua, sungguh saya ingin sekarang dan nanti selalu mensyukuri ia sebagai
anugerah yang begitu besarnya dalam kehidupan ini.
Senang rasanya menggandeng dirinya, sebuah
harta karun yang teramat sangat istimewa untuk saya. Saya ingin tulisan
sederhana ini selalu menjadi pengingat terbaik baginya bahwa saya sungguh
bahagia bersamanya, itu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar